UU Penyandang Disabilitas Belum Optimal, Aturan Turunan Diperlukan

Politisi PKS, Ledia Hanifa Amaliah
Politisi PKS, Ledia Hanifa Amaliah

Bandung (02/01) - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dipandang belum optimal memberikan perlindungan terhadap hak-hak kalangan berkebutuhan khusus.

Kondisi tersebut dinilai terjadi akibat payung hukum tersebut belum dijabarkan secara mendetail. Artinya, dibutuhkan aturan turunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, agar masyarakat berkebutuhan khusus lebih optimal dalam mendapatkan haknya.

"Dengan tidak adanya turunan dari undang-undang tersebut, maka sejumlah amanat akan sulit diimplementasikan oleh pemerintah daerah," ungkap Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifah Amaliah seusai Refleksi 1,5 Tahun Undang-Undang Disabilitas di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Senin 31 Desember 2018 malam.

"Misalnya amanatnya itu adalah membuat Komisi Nasional Disabilitas (KND). Jadi memang KND itu independen, bukan dari pemerintah," sambung Politisi PKS ini  mencontohkan.

Hal lainnya seperti pembentukan Unit Layanan Disbilitas (ULD) Pendidikan dan Ketenagekerjaan, agar kaum disabilitas mendapatkan ilmu dan pekerjaan secara maksimal dan terukur.

"Karena mereka (perusahaan) enggak bisa bahasa isyarat, jadi akhirnya (penyandang disabilitas) diperkerjakan di tempat yang tidak sesuai dengan kemampuan dia. Kalau ada ULD kan dia (perusahaan) bisa mendatangkan penerjemah. Jadi bisa membantu untuk yang tunarungu misalnya," paparnya.

Meski begitu, Ledia mengakui, turunan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 ini sedang digodok terus. Terlebih, kata Ledia, Kelompok Kerja (Pokja) Disabilitas Pusat di Jakarta sempat mengajukan komplain agar dasar hukum yang melindungi masyarakat berkebutuhan khusus tersebut bisa lebih terperinci.

"Jadi yang (masalah) pendidikan ditangani oleh ada permendikbud (peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan)-nya, yang ketenagaankerjaan itu ada permenaker (peraturan menteri tenaga kerja)-nya, nah itu supaya lebih detail," jelas Ledia.

Hal lain yang menandakan hak kaum disabilitas masih terabaikan, yakni dalam pelaksanaan pendidikan inklusi. Ledia menyebutkan, pihaknya masih menemukan pendidikan inklusi yang memberatkan orang tua siswa. Dalam artian, harus menggaji guru yang mendampingi anaknya. 
"Pemerintah harusnya memperhatikan, tapi itu lebih banyak laporannya yang di (sekolah) swasta," ungkapnya.

Ledia meyakinkan, pihaknya senantiasa memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas agar mendapatkan porsi yang sama dalam bermasyarakat. Namun, memang perlu dukungan payung hukum yang jelas.

"Kalau kita sosialisasi sendiri belum ada payung hukumnya, agak susah. Kita mau advokasi dan segala macam juga jadi sulit," tandasnya.

Sumber: jabar.sindonews.com