Trend Kenaikan Harga BBM di Tengah Rendahnya Daya Beli Masyarakat akan Menghambat Pertumbuhan Ekonomi 2018

Memasuki tahun 2018, suasana perekonomian global terasa kondusif dengan mulai
meningkatnya pertumbuhan di China, India, dan Uni Eropa. Situasi tersebut juga mendorong
pemerintah bersikap optimis dalam merencanakan APBN 2018. Sikat optimis tersebut tergambar
dalam beberapa asumsi makro APBN 2018 sebagai berikut: 1. Pertumbuhan Ekonomi sebesar 5,4%;
2. Inflasi sebesar 3,5%; 3. Nilai Tukar Rupiah Rp 13.400 per dolar AS; 4. Harga Minyak Mentah
Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) USD 48 per barel. Untuk permasalahan energi, direncanakan
subsidi energi dalam APBN 2018 sebesar Rp 94, 525 triliun atau meningkat dibandingkan dengan
outlooknya dalam tahun 217 sebesar Rp 89,86 triliun.

Namun pada akhir bulan Januari 2018 terjadi trend kenaikan harga minyak, yang disebabkan
oleh datangnya musim dingin ekstrem selama Januari 2018 dan tercapainya kesepakatan antara
negara-negara OPEC dengan negara non-Opec untuk mengurangi pasokan minyak di pasar dunia,
terutama kesepakatan dengan Amerika Serikat yang berhasil untuk pertama-kalinya mencapai lifting
minyak sebesar 10 juta barel per hari. Terjadi kenaikan harga minyak di pasar dunia sehingga
mencapai harga USD 70 per barel, kenaikan harga minyak tersebut naik sekitar 46%. Bahkan
diperkirakan harga minyak akan terus naik mencapai USD 80 per barel selama 2018, atau naik sekitar
67%. Sementara asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2018 sebesar USD 48 per
barel, disisi lain harga gas di pasar dunia cenderung tetap bahkan menurun.

Dalam kondisi lemahnya daya beli masyarakat dewasa ini, maka kenaikan harga minyak
sekitar 46% - 67% akan mengerek harga premium dari Rp 6.500,00 menjadi Rp 9.490,00 - Rp
10.800,00. Tanpa intervensi tambahan subsidi energi pemerintah, kenaikan harga minyak sebesar itu
akan semakin memukul daya beli masyarakat yang sudah semakin rendah, mendorong harga-harga
naik sehingga angka inflasi meninggi, sehingga angka kemiskinan akan semakin melonjak. Namun
apabila pemerintah menginginkan harga minyak tetap dalam harga Rp 6.500,00 agar daya beli
masyarakat, angka inflasi, dan kemiskinan terkendali maka harus dialokasikan tambahan subsidi
BBM jenis barang tertentu (JBT) dan subsidi listrik dari sebesar Rp 56,965 triliun menjadi Rp 83,168
triliun – Rp 95,131 triliun (dengan asumsi subsidi gas tetap) atau alokasi subsidi energi harus
ditambah alokasi anggaran sebesar Rp 26,204 triliun – Rp 38,166 triliun. Menambah alokasi
anggaran subsidi energi sebesar nilai tersebut tidaklah mudah ditengah kondisi penerimaan negara
yang terbatas.

Tinggal dua opsi yang dapat dipertimbangkan pemerintah dalam menambah alokasi
anggaran subsidi energi tersebut, yaitu menambah utang baru atau mengurangi anggaran belanja
pemerintah. Menambah utang baru sulit dilakukan karena angka defisit anggaran sudah mendekati
batas 3%. Sedangkan mengurangi belanja pemerintah dapat dilakukan dengan resiko tidak dapat
tercapainya target-target pembangunan sehingga pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4% akan
sulit tercapai, bahkan diperkirakan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,27%, lebih rendah dari
pencapaian target pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,3%. Dengan tidak tercapainya target
pertumbuhan ekonomi 2018, maka penyediaan lapangan pekerjaan baru juga sulit terwujud
sehingga pengurangan angka kemiskinan juga tidak bisa direalisasikan sebagaimana yang
direncanakan, justru yang akan terjadi adalah bertambahnya angka kemiskinan

(Jakarta, 2 Februari 2018, Oleh: Memed Sosiawan, Bidang Ekuintek-LH DPP PKS).