Tolak RUU Pertanahan, PKS Beberkan Delapan Alasan

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Mardani Ali Sera
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Mardani Ali Sera

Jakarta (23/09) -- Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Mardani Ali Sera menyatakan partainya menolak revisi undang-undang pertanahan atau RUU Pertanahan disahkan oleh DPR periode ini.

Berdasarkan draf akhir Panja RUU Pertanahan pada 9 September 2019, PKS berkesimpulan bahwa draf tersebut lebih menitikberatkan pada upaya meningkatkan iklim investasi dibandingkan pada aspek pemerataan ekonomi dan keadilan agraria.

"Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan dasar pembentukan RUU Pertanahan ini," ujar Mardani saat dihubungi Tempo pada Ahad, 22 September 2019.
Mardani menyebut, setidaknya ada delapan alasan F-PKS menolak RUU Pertanahan ini disahkan. Berikut rinciannya;

1. RUU Pertanahan menguntungkan pemilik modal besar

Dalam pasal 27 dan pasal 31 dijelaskan bahwa batas maksimum penguasaan tanah per provinsi oleh perorangan dan badan usaha tidak diatur secara detail dalam RUU Pertanahan ini, tapi hanya diatur dalam Peraturan Menteri. Kemudian,
dalam pasal 13 ayat (2) dijelaskan bahwa batas maksimum penguasaan tanah dikecualikan dengan memperhatikan skala ekonomi.

Dalam pasal 13 ayat (4) dijelaskan bahwa apabila pihak swasta melanggar batas maksimum penguasaan tanah, maka mereka cukup membayar pajak progresif. "Hal ini tentu saja sangat menguntungkan pihak swasta yang memiliki modal kapital yang besar karena pada prinsipnya semahal-mahalnya nilai pajak progresif, pasti tetap akan lebih kecil dibandingkan nilai aset tanah," ujar Mardani.

2. Cenderung memberikan banyak kemudahan investasi bagi pemegang HGU, HGB dan Hak Pakai Berjangka Waktu

PKS menyoroti beberapa pasal, diantaranya; pasal 25 ayat (3) dan pasal 32 yang menjelaskan bahwa HGU dan HGB dapat dijadikan jaminan hutang dan diberikan hak tanggungan.

"Menurut kami, pasal ini berisiko karena apabila pihak terhutang tidak bisa melunasi hutangnya, maka pihak pemberi hutang bisa mengambil asset hasil ekplorasi tanah dan bangunan yang sejati dapat menjadi milik Negara apabila masa berlaku HGU dan HGB nya telah habis," ujar Mardani.

3. Tidak ada upaya memprioritaskan pemberian hak pakai kepada koperasi buruh tani, nelayan, UMKM dan masyarakat kecil lainnya

Dalam pasal 34 dan pasal 35 RUU Pertanahan ini adalah pemberian Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu kepada perorangangan dan Badan Usaha, yang prinsipnya tidak berbeda jauh dengan pemberian HGU dan HGB.

4. Terbatasnya akses publik dalam pendaftaran tanah

Dalam pasal 46 ayat (9) huruf (a), akses masyarakat untuk mengetahui daftar pemilik hak atas tanah sangat dibatasi, kecuali untuk penegak hukum. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat tidak dapat turut berpartisipasi mengawasi pihak swasta yang memiliki tanah melebihi batas maksimum sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah.

5. Tidak ada upaya konkret pemerintah meningkatkan nilai ekonomi lahan warga yang telah disertifikasi melalui program pemerintah.
Hal ini dinilai menyebabkan kecenderungan masyarakat yang tanahnya telah disertifikasi akan mengagunkan atau menjual tanahnya guna memenuhi kehidupan sehari-hari.

6. Tidak adanya upaya yang konkret mempercepat proses pengakuan tanah hukum adat yang menjadi amanat Putusan MK 35/2012

Dalam penjabaran pasal 5 pada draft RUU tentang Pertanahan ini, proses pengakuan tersebut tanah adat harus melalui Perda Kabupaten/Kota atau Provinsi. Proses tersebut, selama ini telah terbukti tidak mampu mempercepat proses pengakuan tanah hukum adat.

"Pasal 6 draf RUU tentang Pertanahan ini bahkan diduga dapat mereduksi ruang lingkup tanah ulayat, dimana ruang lingkupnya hanya pada kawasan non hutan," ujar Mardani.

7. Terhapusnya status tanah hak bekas swapraja, yang selanjutnya akan kembali menjadi tanah negara.

8. Tidak ada kebijakan untuk memberantas mafia tanah dan mengendalikan nilai tanah.

Sumber: tempo.co