PKS: Ada Lima Kekuatan Argumentasi Hak Angket Ahok

Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf
Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf

Jakarta (16/1) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf menjelaskan lima kekuatan argumentasi hak angket DPR RI tentang pengaktifan kembali Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Pertama, kekuataan hak angket itu berdasarkan argumentasi bahwa baik didakwa Pasal 156a KUHP maupun Pasal 156 KUHP pengaktifan kembali saudara Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta diduga kuat telah melanggar UU No.23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1,2 dan 3," kata politikus PKS asal Lampung dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Rabu (15/2).

Argumentasinya kata Muzzammil, jika Ahok didakwa pasal 156a KUHP dengan hukuman selama-lamanya lima tahun maka dalam UU No.23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1 disebutkan paling singkat lima tahun.

"Jadi pada sanksi pidana yang didakwakan terhadap Ahok ada irisan pada hukuman lima tahun. Ini jelas tidak multitafsir," kata alumni Ilmu Politik UI itu.

Kedua, terang Muzzammil, kalaupun yang digunakan Jaksa adalah pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun maka perbuatan Ahok masuk pada kategori perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Ali Mukartono yang dibacakan pada pada 20 Desember 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

"Kutipan dakwaan Jaksa ini telah memenuhi maksud dari Pasal 83 Ayat 1 pada bagian terakhir yaitu perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia," katanya.

Ketiga, kata Muzzammil, pemberhentian sementara Ahok seharusnya tidak menunggu tuntutan jaksa penuntut umum tetapi cukup berdasarkan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sesuai dengan Pasal 83 Ayat 2 yang berbunyi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

"Dasar SK pemberhentian Presiden terhadap Ahok adalah nomor register pengadilan bukan berdasarkan tuntutan yang dibacakan jaksa yang disampaikan oleh Mendagri. Jadi pemberhentian menunggu tuntutan tidak memiliki dasar hukum. Cenderung dipaksakan dan mengada-ngada," katanya.

Keempat, menurut Muzzammil, kegiatan serah terima jabatan gubernur yang di dalamnya ada Serah Terima Laporan Nota Singkat Pelaksana Tugas dari Plt. Gubernur DKI Jakarta kepada Gubernur Petahana, Ahok pada masa cuti, 11 Februari 2017 pukul 15.30 di Gedung Balai Kota DKI Jakarta diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 70 serta Peraturan KPU No.12/2016.

"Cuti para petahana itu dari tanggal 28 Oktober 2017 sampai 11 Februari 2017 Pukul 24.00. Pada saat serah terima itu tanggal 11 Februari pukul 15.30 masih masa cuti dan Ahok sedang cuti. Penyelenggaraan acara tersebut telah melanggar UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 70 serta rinciannya pada Peraturan KPU No.12/2016," Tegasnya.

Kelima, terang Muzzammil, argumentasi angket DPR ini mendapat dukungan dan legitimasi dari masyarakat dan para pakar hukum yang mempersoalkan pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang merupakan terdakwa kasus penistaan agama.

"Banyak aspirasi masyarakat dan kajian dari para pakar hukum yang memiliki kredibilitas dan integritas seperti Prof. Mahfud MD, Prof. Romli Atmasasmita, Prof. Deni Indrayana, Dr. Hendra Nurtjahjo, Dr. Hamid Cholid dan yang lainnya yang menegaskan pengaktifan kembali Ahok merupakan pelanggaran terhadap undang-undang," katanya.

Sumber: Republika.co.id