Pidato Politik Presiden PKS pada Milad ke-20 PKS

Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman memberikan orasi politik pada puncak Milad ke-20 PKS di SICC, Bogor, Jawa Barat, Ahad (13/5) (PKSFoto)
Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman memberikan orasi politik pada puncak Milad ke-20 PKS di SICC, Bogor, Jawa Barat, Ahad (13/5) (PKSFoto)

PIDATO POLITIK PRESIDEN PKS PADA MILAD KE-20 PKS

Oleh Mohamad Sohibul Iman,Ph.D

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Pertama-tama, izinkan kami atas nama keluarga besar PKS, kami mengucapkan rasa bela sungkawa atas jatuhnya korban terror bom bunuh diri di beberapa Geraja di Surabaya, pagi tadi. Keluarga besar PKS juga menghaturkan rasa bela sungkawa atas korban meninggalnya anggota Brimob Kepolisian Republik Indonesia atas insiden baku tembak dengan tahanan teroris. Semoga Allah Swt menerima semua amal baiknya. Dan semoga keluarga diberikan ketabahan dan kesabaran.

Bagi PKS, semua tindakan teror atas nama apa pun adalah tindakan yang biadab dan merupakan kejahatan kemanusiaan yang harus dilawan! Agama apa pun, apalagi Islam mengutuk segala bentuk tindakan teror.

Saudara-Saudara, Hadirin yang terhormat,

Sejarah seringkali ditulis oleh para pemenang. Begitu kata sejarawan. Dan hari ini kita merayakan dua peristiwa yang bersejarah. Dua peristiwa ini memiliki satu kesamaan: keduanya lahir dari tangan para pemuda. Keduanya lahir dari semangat perubahan. Keduanya anak kandung kebebasan. Kita, hari ini merayakan dua peristiwa bersejarah itu, yang terjadi dua puluh tahun yang lalu: KELAHIRAN REFORMASI DAN KELAHIRAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA.

Gerakan Reformasi telah melahirkan generasi baru. Generasi yang berhasil mengubah negara otoritarianisme menjadi negara demokrasi. Generasi yang membuka pintu gerbang kebebasan, mengembalikan militer ke barak, memberikan hak otonomi daerah seluas-luasnya, dan menjamin penuh hak asasi manusia dalam amandemen konstitusi.

PKS lahir ketika denyut nadi reformasi itu mulai berdetak dan menggerakan langkah perubahan. Di dalam tubuh PKS, mengalir darah para pejuang Reformasi. Di dalam jiwa PKS, tertanam semangat perjuangan Reformasi. PKS berhutang nyawa kepada para mahasiswa yang gugur saat berjuang menggelorakan gerakan Reformasi. Tanpa mereka, gerakan perubahan hanya menjadi impian. Tanpa mereka, demokrasi bisa jadi tidak akan hadir di bumi pertiwi. Hormat dan rasa terimakasih, kita haturkan kepada pemuda-pemuda pemikul beban perubahan di Indonesia. Semangat mereka tak akan lekang oleh zaman. InsyAllah.

Saudara-Saudara, Hadirin yang Terhormat,

Setelah 20 tahun perubahan itu digulirkan, banyak tantangan yang masih terbentang. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Dari Presiden BJ Habibie, Presiden Wahid, Presiden Megawati, Presiden Yudhoyono hingga saat ini Presiden Joko Widodo. Setiap zaman memiliki tantangannya. Ada hal yang harus diubah. Ada hal yang harus diteruskan. Ada hal yang harus dihentikan. Tugas kita sebagai generasi selanjutnya, memastikan arah perubahan ini bergerak pada REL yang benar. Tidak menyimpang.

Izinkan dalam kesempatan ini, saya menyampaikan tantangan kepemimpinan nasional ke depan. Semoga bisa menjadi renungan yang bermanfaat bagi generasi baru Indonesia yang akan memimpin Indonesia di kemudian hari.

Tantangan Pertama, Aspek Demokrasi

Pasca reformasi, Indonesia telah menjalani 4 kali pemilihan umum (1999, 2004, 2009, 2014), 3 kali pemilihan presiden langsung (2004, 2009, 2014). Dan 2 kali pemilihan kepala daerah serentak (2015, 2017). Secara prosedural, Indonesia telah mampu menjalankannya dengan cukup baik, damai, lancar tanpa ada konflik yang berkepanjangan.

Namun, demokrasi bukan hanya tentang aspek prosedural, tapi juga aspek substansial. Apa manfaatnya demokrasi bagi rakyat Indonesia? Apakah ia mampu membawa kepada kesejahteraan? Apakah ia mampu memberikan rasa keadilan? Apakah ia mampu menjamin dan melindungi hak-hak asasi warganya?

Pada aspek substansi inilah bangsa Indonesia masih perlu banyak berbenah. Rakyat akan ‘menggugat’ apa manfaat demokrasi bagi mereka? Apakah demokrasi hanya sebatas ‘pesta’ para politisi dan elite atau ia menjadi jalan menuju terciptanya bagunan keadilan dan kesejehateraan.

Kita menghadapi beberapa tantangan berat di aspek demokrasi. Proses transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi berjalan sangat lambat. Mengapa konsolidasi demokrasi gagal? Karena institusionalisasi demokrasi tidak berjalan dengan baik.

Institusionalisasi demokrasi saja ditentukan bukan ada tidaknya institusi dalam arti bangunan fisik, tetapa lebih kepada komitmen penegakan aturan main (rule of the game). Desain aturan ini baik berupa aturan formal seperti Perundang-undangan atau aturan informal seperti norma dan etika yang tidak tertulis. Inilah pentingnya membangun kesadaran yuridis dan kesadaran etis.

Desain kelembagaan demokrasi juga harus kita tata dengan baik. Sebagai contoh, bagaimana desain pemilu kita seperti Pilkada? Apakah masih tetap langsung atau tidak langsung? Terkait pembiayaan politik juga sama, apakah beban biaya politik dibebankan kepada elit, kandidat dan partai atau negara? Level otonomi daerah kita letakan di tingkat kabupaten kota atau provinsi? Semua desain kelembagaan ini harus kita matangkan. Tanpa ada ke ajegakan demokrasi kita akan gagal terkonsolidasi.

Kegagalan kita melakukan konsolidasi demokrasi menyebabkan beberapa ekses negatif yang menjadi penyakit kronis dalam sistem politik kita.

Pertama, semakin mahal biaya politik atau high cost politics hal ini menyebabkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas tapi tidak memiliki ‘isi tas’ semakin sulit untuk masuk dan ikut berkiprah dalam kompetisi politik.

Biaya yang mahal menjadikan partai politik dan politisi harus berusaha keras mencari pendanaan yang luar biasa besar. Inilah yang kemudian menjadikan politik di Indonesia keluar dari khittah-nya dari jalan pengabdian sebagai pencipta kemaslahatan menjadi jalan pemburu rente ekonomi kekayaan.

Kedua, hegemoni oligarki yakni dominasi dan intervensi segelintir kelompok pemilik modal yang mengendalikan gerak langka partai dan elit politik untuk tunduk dan patuh pada kepentingan segelintir pemilik modal tersebut. Hegemoni oligarki ini mendikte kebijakan publik untuk berpihak kepada kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat luas.

Yang ketiga adalah inter-locking politics yakni politik saling mengunci. Politisi yang dibiayai oleh pemodal akan dikunci oleh kepentingan pemodal tersebut. Dan sebaliknya, pemodal yang dibantu oleh politisi akan mengunci gerak langkah pemodal tersebut. Politik saling mengunci ini akan semakin runyam ketika masuk pada ranah penegakan hukum. Yakni ketika penegak hukum menjadi alat politik kepentingan penguasa dan pemodal.

Seharusnya, sebagai negara hukum, maka aturan hukumlah yang seharusnya menjadi panglima, bukan kepentingan politik penguasa. Janganlah sekali-kali kepentingan politik penguasa mengintervensi proses penegakan hukum. Dan sebaliknya, jangan sekali-kali para penegak hukum bermain mata dengan kepentingan politik. Jika politik memperalat hukum, hancurlah wibawa dan marwah hukum kita di hadapan rakyat.

Penyakit kronis yang keempat adalah poltik involutif artinya politik yang berputar-putar dengan dirinya, sibuk mengurus dirinya saja, ia gagal naik kelas dan tidak mengalami kemajuan. Politik kita semakin hingar bingar gegap gempita setiap tahunnya namun rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat tercecer dan jauh tertinggal di belakang.

Tantangan Kedua, Aspek Ekonomi

Perekonomi Indonesia hari ini berada dalam persimpangan sejarah: apakah ia akan mampu naik kelas menjadi ekonomi papan atau ia akan terjebak pada kondisi ekonomi papan tengah atau bahkan jatuh menjadi papan bawah atau negara gagal?

Para ahli telah mengingatkan bahwa Indonesia sangat rentan terjatuh dalam posisi pendapatan menengah-bawah dalam waktu yang lama dan gagal naik kelas menjadi ekonomi papan atas Middle Income Trap (MIT). Tanda-tandanya sudah terlihat didepan mata: ketimpangan ekonomi yang sangat tinggi, pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan daya saing industri yang terus menurun. Tanpa ada reformasi kebijakan struktural, Indonesia akan menjadi bangsa yang medioker atau bahkan gagal lepas landas.

Penguasa harus terbuka kepada rakyatnya. Harus kita akui bahwa fondasi perekonomian kita sangat rapuh. Perekonomian Indonesia juga mengidap penyakit kronis. Indonesia mengidap multiple deficit yakni defisit jamak. Apa itu?

Pertama, defisit dari sisi anggaran, APBN kita mengidap defisit keseimbangan primer yang mengancam kesinambungan APBN di masa mendatang. Utang Pemerintah sudah tembus di angka 4 ribu triliun, dan diperkirakan akan menembus di angka 5 ribu triliun rupiah pada 2019 nanti. Pemerintah saat ini, harus mencetak utang baru untuk membayar utang lama. Utang tidak lagi menjadi daya ungkit pembangunan, utang sudah menjadi jebakan pembangunan. Ekonomi kita terjebak dengan utang-utang yang tidak produktif.

Ambisi besar pemerintah membangun infrastruktur terbentur oleh tembok besar bahwa ternyata uang negara tidak mencukupi. Penerimaan pajak Indonesia adalah salah satu yang terendah di dunia! Bahkan di ASEAN, kinerja APBN kita salah satu yang terburuk.

Yang kedua, tidak hanya dalam sisi anggaran. Dari sektor migas, Indonesia sudah menjadi salah satu negara pengimpor migas. Dari sisi pangan, Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris bahkan menjadi negara pengimpor pangan. Defisit transaksi berjalan konsisten negative sejak 2012 dan semakin memburuk hingga saat ini terus menggerus rupiah. Nilai Rupiah terus merosot menjadi bukti nyata bahwa fondasi ekonomi kita sangat rapuh. Ini sudah lampu kuning menuju lampu merah!

Kedaulatan ekonomi Indonesia juga dalam ancaman. Perekonomian kita saat ini gagal menciptakan lapangan kerja yang mencukupi bagi rakyatnya. Indonesia mengalami deindustrialisasi premature, dengan semakin kecilnya kontribusi industri manufaktur, banyak perusahaan gulung tikar dan tak mampu menyerap tenaga kerja secara optimal. Ironisnya, di saat yang sama, Penguasa justru lebih berpihak kepada Tenaga Kerja Asing dibandingkan tenaga kerja domestik. Kita semua jadi bertanya-tanya: pemerintah ini sebenarnya bekerja untuk siapa?

Pemerintah Tiongkok memang punya kebijakan bahwa setiap investasi Luar Negeri harus bisa mengentaskan tenaga kerja lokal, sehingga investasi mereka harus diikuti dengan pengiriman tenaga kerja mereka. Tentunya itu hak pemerintah Tiongkok. Tapi Indonesia sebagai negara berdaulat RI juga punya hak untuk menolak kebijakan Pemerintah Tiongkok yang merugikan tenaga kerja kita. Di titik inilah komitmen kedaulatan seorang Pemimpin di uji. Apakah dia mampu membela kepentingan rakyatnya atau tidak?

Bagaimana mungkin Indonesia yang merupakan negara emerging countries, anggota G-20 masih menyepakati skema investasi asing model Turnkey Project Investment? Yakni skema investasi asing yang tidak hanya menerima limpahan modal finansial, tapi juga menerima limpahan tenaga kerja asing baik yang terdidik maupun yang tidak terdidik. Kita tinggal terima beres. Tinggal terima kuncinya saja. Ini benar-benar pembodohan dan menghina akal sehat kita!

Bukankah Turnkey Project Investment adalah skema investasi untuk negara-negara terbelakang di tahun 1960-an yang sudah tidak layak diterapkan di negeri kita? Buat apa kita menyetujui skema investasi yang tidak adil semacam ini? Ini merendahkan martabat kita sebagai bangsa dan menjadikan kita seolah-olah subordinasi dari bangsa lain! Bukankah Bung Hatta pernah mengatakan, “Lebih baik Indonesia tenggelam di dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain?” Indonesia tidak boleh menjadi embel-embel negara lain. Indonesia harus bangkit menjadi bangsa yang berdaulat dan berdikari!

Tantangan Ketiga, Harmoni Sosial.

Saudara-Saudara,

Kita merasakan akhir-akhirnya ada upaya untuk melakukan segregasi, polarisasi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Ada yang merasa lebih Pancasilais, lebih nasionalis, lebih menghargai kebhinekaan. Di lain pihak, ada kelompok yang merasa lebih religious, lebih baik, lebih dekat dengan Tuhan. Kedua sikap ini sama-sama tidak baik.

Polarisasi semakin menjadi-jadi ketika Penguasa yang seharusnya mampu menjadi jembatan antara dua kelompok tersebut memilih berpihak kepada salah satu kelompok. Bahkan Penguasa terlihat diskriminatif terhadap kelompok yang tidak bersamanya, dan sangat supportive terhadap kelompok yang mendukungnya. Ini menjadikan segregasi dan polarisasi semakin melebar dan meresahkan.

Kita pun menyaksikan bagaimana klaim-klaim sepihak tentang kebhinekaan adalah cara termudah untuk mengasosiakan diri dengan hal tersebut. Tapi yang sulit adalah membuktikannya pada sikap dan perilaku di kehidupan nyata. Kebhinekaan terawat bukan karena klaim-klaim sepihak tetapi karena adanya sikap jujur, terbuka, tenggang rasa, tanggungjawab, dan adil.

Akhir-akhir ini kita juga semakin merasakan bahwah ada pihak-pihak yang mencoba-coba untuk membenturkan antara Islam, Kebhinekaan dan NKRI. Hati-hati, itu provokasi. Sejatinya, Islam, Kebhinekaan dan NKRI adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Menjadi seorang muslim yang baik sejatinya menjadi seorang yang nasionalis, yang cinta kepada tanah airnya. Bukankah Hubbul Wahtan Minal Iman? Cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Republik ini didirikan dengan darah para syuhada dan jihad para ulama dan santri. Dasar-dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibentuk dan dirancang oleh pimpinan kelompok islam yang nasionalis, yang sangat cinta akan tanah airnya. Bukankah NKRI lahir atas prakarsa Mosi Integral Natsir yang notabene Ketua Umum Partai Islam saat itu?

Saya ingatkan kepada pihak-pihak yang memprovokasi: jika masih ada entitas di Republik ini yang menstigma kelompok islam itu tidak nasionalis, anti-kebhinekaan, anti-NKRI, Radikal, Intoleran, maka sesungguhnya mereka telah memunggungi takdir sejarah Republik Indonesia.

Takdir historis dan sosiologis terbentuknya bangsa Indonesia adalah karena adanya titik temu antara kelompok Islam dengan Kelompok Nasionalis dalam memerdekakan bangsa Indonesia. Tugas kita adalah membangun titik keseimbangan dua kelompok ini dalam takaran yang pas dan proprosional. Kedua kelompok ini harus berjalan seiring tidak boleh saling menegasikan satu sama lain.

Saudara-Saudara, hadirin yang Terhormat,

Dengan menyimak tiga tantangan Indonesia di atas, maka tugas kita adalah mencari pemimpin baru yang bisa mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Faktanya, pemimpin yang saat ini telah gagal memenuhi janji-janjinya. Jika seorang pemimpin telah berjanji namun dia sendiri yang mengingkari janji-janjinya, apa masih perlu kita pilih kembali, saudara-saudara?? Apa masih perlu kita lanjutkan? Kita lanjutkan atau kita ganti?

Itulah kenapa kita mengusung gerakan #2019GantiPresiden. Rakyat punya hak konstitusonal setiap lima tahun untuk memilih pemimpin barunya. Jika pemimpin saat ini telah gagal, buat apa kita pertahankan? Betul tidak?

Saudara-saudara, beberapa waktu yang lalu, kita menyaksikan ada yang mencemooh bahwa katanya kaos tidak bisa ganti Presiden. Saya setuju dengan pernyataan itu! Memang benar bahwa kaos tidak bisa ganti Presiden. Saya juga setuju bahwa topi, gelang, mug dan hatsag tidak bisa ganti Presiden.

Tapi harus diingat bahwa yang menggunakan kaos, topi, mug, gelang dan hastag #2019GantiPresiden adalah rakyat Indonesia yang punya hak konstitusional untuk memilih di 2019 nanti. Merekalah yang berkehendak dan menginginkan pemimpin baru.

Dan kabar baiknya, rakyat yang menghendaki #2019GantiPresiden semakin membesar dan menjadi arus gerakan baik di dunia nyata maupun maya. Mereka berbondong-bondong menginginkan bahwa 2019 nanti, mereka ingin memiliki pemimpin baru. Pemimpin yang bisa menepati janji-janjinya. Pemimpin yang satu antara kata dengan perbuatannya. Pemimpin yang bisa menghadirkan Indonesia yang berdaulat, berdikari, adil dan sejahtera. Pemimpin yang kuat dan bisa membawa Indonesia naik kelas menjadi bangsa yang maju dan disegani di panggung internasional.

Saudara-Saudaraku, Keluarga Besar Partai Keadilan Sejahtera

Kita harus selalu optimis dalam memandang masa depan. Kita harus meyakini bahwa hari esok akan lebih baik dibanding ahri ini. Kita arus percaya bahwa hari esok akan menjanjikan harapan-harapan. Kita percaya bahwa Allah Swt akan memberikan pertolongan-Nya. Sekali pun PKS dalam kondisi kekurangan di banding partai-partai lain, yakinlah bahwa kita akan bisa meraih kemenangan.

Perjalanan 20 tahun PKS memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Ketika awal berdiri tahun 1998 sebagai PK, banyak pihak yang meramal bahwa PKS tidak akan bertahan lama karena PKS dinilai tidak punya tokoh dan logistik. Alhamdulilah, hari ini setelah 20 tahun berlalu, PKS tetap eksis dan berperan penting dalam memberikan warna perpolitik nasional.

Apakah eksistensi PKS selama ini karena ketokohan pimpinannya? Apakah karena berlimpahnya uang dan modal? Bukan! Sekali lagi bukan karena tokoh atau uang. PKS hari ini eksis dan berperan penting di panggung politik nasional karena keikhlasan pengorbanan dan militansi kader-kadernya, karena soliditas struktur dan pengurusnya, karena karena kerja bersama yang indah antara pimpinan dan kader-kadernya. Disitulah letak keberkahannya, disitulah kunci kemenangannya sesungguhnya!

Saya ingin bertanya kepada seluruh kader PKS: Apakah 2019 Siap merebut kemenangan? Apakah 2019 siap menjadi Partai Papan Atas? Apakah 2019 siap memimpin negeri? Apakah 2019 siap Ganti Presiden? Takbir! Takbir! Takbir! Merdeka!


Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.