Penyesuaian Harga BBM Semakin Beratkan Rakyat

Jakarta (26/2) - Terhitung sejak 24 Februari, Pertamina menaikkan harga minyak nonsubsidi seperti Pertamax, Dexlite maupun Pertalite. Kenaikan harga sekitar Rp300 untuk wilayah Jawa dan Bali; sedangkan di luar wilayah tersebut, kenaikan beragam. Harga Pertamax di Jakarta misalnya, naik menjadi Rp8.900 di Jakarta. Harga Dexlite naik dari Rp 7.500 per liter menjadi Rp 8.100 per liter.

Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharram menilai langkah penyesuaian harga BBM tersebut akan semakin memberatkan rakyat.

“Tentu, daya beli akan kembali terganggu karena langkah ini menyulut inflasi”. Pada Januari lalu, inflasi mencapai 3,25 persen (yoy) dimana inflasi energi mencapai 8,6 persen; inflasi harga diatur pemerintah 5,82 persen. Artinya, gejolak inflasi masih disebabkan oleh intevensi pemerintah di bidang harga, bukan karena peningkatan konsumsi (belanja)” jelas Ecky di Jakarta, Senin (26/2/2018).

Masalahnya, kata dia, pengaruh inflasi itu kan tidak bisa dibatasi pada kelompok tertentu saja. Misalnya pada golongan orang kaya. Sebaliknya, inflasi lebih menekan bagi rakyat kecil, meski kebijakan yang diambil tidak terkait dengan kepentingan mereka.

"Dengan demikian, agak sulit juga memperbaiki ketimpangan, jika harga barang-barang pokok terus diintervensi. Kebijakan ini jelas-jelas tidak pro rakyat," ungkapnya.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa, pertumbuhan ekonomi memiliki tendensi melambat, karena perlambatan konsumsi rumah tangga akibat penurunan daya beli.

“Jadi, rakyat akan menahan untuk konsumsi sebagai upaya antisipasi “kalau-kalau” minyak naik lagi. Jelas akan sulit mencapai target pertumbuhan tinggi, jika pemerintah seringkali menaikkan BBM," kata dia.

“Konsumsi rumah tangga Indonesia itu, sebagian besar golongan menengah ke bawah. Bagi golongan menengah, saat terjadi tekanan harga, maka mereka akan menunda belanja. Namun, bagi golongan bawah, kenaikan harga menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. “Saya pikir, pemerintah sangat paham tentang hal itu”jelas Ecky.

Dalam beberapa laporan BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga rata-rata di bawah 5 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi. Padahal, peranannya mencapai 55 persen terhadap PDB. Pada 2017, Ecky menjelaskan pertumbuhan ekonomi hanya 5,07 persen dimana konsumsi rumah tangga hanya naik 4,95 persen. Padahal kita ingin ekonomi bisa meroket, atau setidaknya memenuhi target APBN-P 2017 sebesar 5,2 persen. Jika pertumbuhan ekonomi tetap rendah, bagaimana pemerintah akan mampu menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang lebih cepat,” tutup Ecky.