Pembangunan Pro Keluarga Indonesia

Jakarta (24/10) - Sebagai sebuah bangsa yang besar, dengan jumlah penduduk di urutan ke empat terbanyak sedunia dan wilayah geografis yang rentangnya amat luas, Indonesia menjadi kekuatan signifikan dalam mengungkit kemajuan peradaban dunia.

Momentum strategis yang akan kita hadapi adalah BONUS DEMOGRAFI, yakni proporsi penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) lebih besar daripada penduduk usia non produktif. Menurunnya angka fertilitas dan mortalitas berimplikasi pada turunnya rasio ketergantungan (depedency ratio). Diprediksi pada rentang 2020-2030, proporsi penduduk usia produktif Indonesia  mencapai 70%.

Bonus demografi ini merupakan momentum yang perlu disiapkan dengan sungguh-sungguh oleh segenap elemen masyarakat. Tidak dapat direspon hanya dengan perhatian sekedarnya.

Dalam kondisi tersebut, mudah untuk kita pahami bahwa kualitas SDM berusia produktif tersebut menjadi faktor kritis apakah bonus demografi akan menjadi sebuah berkah ataukah musibah bagi Indonesia.

Tantangan Bonus Demografi

  1. Kualitas SDM

Kondisi SDM kita saat ini belum memiliki kekuatan kompetitif yang memadai. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas  SDM Indonesia memiliki jenjang pendidikan dasar yakni 70%, SDM berpendidikan menengah 22% dan SDM berpendidikan perguruan tinggi baru sekitar 7%1.

Bandingkan dengan SDM jiran kita Malaysia, yang berjenjang pendidikan menengah mencapai 56%, pendidikan dasar 24%, dan pendidikan tinggi 20% 2.

  1. Fenomena Generasi Digital Native

Hal lain yang memengaruhi kualitas SDM bangsa adalah kekhasan anak-anak kita sebagai generasi digital native. Generasi yang lahir di era digital, era dunia yang 'terkompresi' dalam sebuah gawai (gadget) dan nyaris terhubung sepanjang waktu. Jarak geografis dan perbedaan jam bukan lagi menjadi kendala komunikasi dan interaksi segenap warga planet bumi. Generasi digital native yang kerap dijuluki sebagai generasi 'beta' memiliki kekhasan yang cukup signifikan perbedaannya dengan generasi sebelumnya.

  1. Masalah Sosial Anak

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)3, pada 2016 KPAI  menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak. Kasus tertinggi anak berhadapan dengan hukum (ABH) mencapai 1.002 kasus, disusul kasus terkait keluarga dan pengasuhan alternatif 702 kasus, kejahatan anak berbasis siber (cyber crime) 414 kasus, selanjutnya kasus pelanggaran anak dalam pendidikan 328 kasus.

Perbedaan dengan tahun sebelumnya adalah pergeseran dominasi kasus berdasarkan pengelompokan jenis pelanggaran. Tahun 2015 kasus anak di bidang pendidikan menempati urutan ketiga setelah kasus bidang ABH, keluarga, dan pengasuhan alternatif. Namun tahun 2016, kasus kejahatan berbasis siber menempati urutan ketiga, melampaui pelanggaran dunia pendidikan.

Ketahanan Keluarga dan Pembangunan Pro Keluarga

Menghadapi tantangan masih rendahnya kualitas SDM dan kehadiran generasi 'beta' yang unik, sebuah terobosan agar bonus demografi yang puncaknya akan kita alami tahun 2028, dapat dihadapi secara lebih optimal adalah dengan mengokohkan ketahanan keluarga.

Keluarga memiliki fungsi signifikan dalam melahirkan SDM yang berdaya saing. Dimulai saat pembentukan keluarga yang memiliki visi dan misi sebagai pembentuk generasi berkualitas, berlanjut dengan komitmen implementasi dalam mengawal tumbuh-kembang anak dan pendidikan mereka. Hadirnya keluarga-keluarga yang kokoh ini jelas akan membawa pengaruh besar dalam mengejar ketertinggalan kita.

Tak dipungkiri bahwa negara memiliki kewajiban dalam Pendidikan warga negara. Namun tentu tidak mungkin kekurangan infrastruktur yang ada dapat diatasi dalam waktu singkat. Karena itu fungsi keluarga sebagai institusi sosial yang menggodok SDM agar lahir generasi berkualitas dapat menjadi solusi.

Dengan signifikannya peran keluarga ini, maka menjadi hal yang logis bila Negara memfasilitasi peningkatan kualitas ketahanan keluarga. Program-program peningkatan kapasitas keluarga—dari aspek psikologis, sosial dan ekonomi—harus difasilitasi oleh APBN maupun APBD. Ketahanan keluarga bahkan perlu menjadi prioritas dalam pembangunan.

Keberpihakan keluarga sebagai salah satu prinsip dalam pembangunan nasional sebetulnya sudah disiratkan dalam khasanah peraturan perundang-undangan kita seperti dalam pasal 28 B UUD 1945 “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Juga dalam UU 1/1974 tentang Perkawinan, UU 52/2009 tentang  Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, UU no. 35/2014 tentang Perubahan atas UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak , dan lain-lain.

Program-program Pemerintah Pusat dan daerah serta kebijakan publik yang dikeluarkan perlu berorientasi pada kepentingan terbaik keluarga. Singkatnya, Pemerintah perlu menegaskan prinsip Kebijakan yang PRO KELUARGA. Komitmen pembangunan yang pro keluarga ini mensyaratkan tidak hanya dianggarkannya program-program untuk melahirkan keluarga kokoh, namun juga dihindarinya program-program yang dapat melemahkan keluarga, termasuk program pembangunan infrastruktur. Di sektor perijinan kebijakan pro keluarga perlu menelaah dampak dari sebuah usaha atau pembangunan fisik terhadap ketahanan keluarga di sekitarnya sebagai prasyarat diterbitkannya ijin. 

 

Sumber :

1) Resume Ikhtisar Data Pendidikan

    Indonesia 2016-2017, Kemendikbud RI

2) Okezone Finance, Rabu 10 Desember

    2014

3)Tulisan Asrorun Niam Sholeh

    (Ketua KPAI 2011-2016)