Fatamorgana Penurunan Angka Kemiskinan

Data kemiskinan dan ketimpangan yang dipublikasikan secara luas oleh pemerintah dalam beberapa hari terakhir ini menarik untuk kita analisa.

Pemerintah mengklaim bahwa angka kemiskinan telah mencapai angka satu digit, tepatnya berada pada kisaran 9,82%.

Satu sisi kita apresiasi usaha dan kerja keras pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan, tetapi disisi lain pemerintah juga harus fair membuka informasi terkait pra kondisi sebelum penetapan data kemiskinan dan ketimpangan yang dilakukan oleh BPS.

Bansos dan Panen Raya

Jika kita amati lebih jauh, ternyata turunnya angka kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari kenaikan signifikan bantuan sosial (bansos) berupa bantuan sosial tunai dari pemerintah naik 87,6% pada triwulan I 2018. Selain itu, program beras sejahtera serta bantuan pangan non-tunai juga berhasil didistribusikan ke masyarakat sesuai jadwal.

Selain itu, ternyata survei angka kemiskinan terbantu dengan kondisi petani yang baru saja melakukan panen raya. Seperti yang kita ketahui, para petani yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk, baru saja menyelesaikan panen raya, sehingga para petani masih memegang atau menyimpan uang hasil panen yang dimilikinya.

Jadi ada kemungkinan menurunnya angka kemiskinan tersebut, terbantu oleh waktu survei BPS yang bertepatan dengan panen raya. Apalagi jumlah penduduk miskin rata-rata 60% di sektor pertanian.

Pemerintah harus jelaskan apakah survei dilakukan saat panen raya? Kalau panen, upah buruh tani naik, orang miskin menurun. Hasil survei bisa berbeda jika dilakukan dalam kondisi panen bermasalah imbas faktor cuaca atau lainnya.

Tingkat Ketimpangan

Sedangkan tingkat ketimpangan atau rasio gini yang turun dari 0,391 per September 2017 menjadi 0,389 per Maret 2018, belum bisa dianggap sebagai sebuah prestasi. Sebab, rasio tersebut diukur berdasarkan pengeluaran bukan aset, sehingga tak sepenuhnya bisa mencerminkan kondisi ketimpangan.

Jika mengacu pada data BPS, ketimpangan yang turun terjadi lantaran porsi pengeluaran penduduk kaya alias kelompok 20% teratas berkurang dari 46,4% menjadi 46,09%. Diduga kelompok kaya sengaja menahan belanjanya dengan berbagai alasan dari mulai kekhawatiran terhadap ketidakpastian kondisi makro ekonomi hingga pajak.

Sedangkan, pengeluaran penduduk 40% terbawah yang naik dari 17,12% ke 17,29% dalam satu tahun terakhir, didorong oleh bansos dan rastra yang naik signifikan. Dengan kata lain ketimpangan yang seolah-olah turun sebenarnya semu. Tidak mencerminkan yang sesungguhnya.

Jadi pemerintah dan BPS juga sebaiknya membuka informasi yang utuh tentang hasil survei kemiskinan dan ketimpangan ini. Jangan sampai nanti, terjadi masalah di kemudian hari. Jika bansos dan program bantuan lainnya turun maka angka kemiskinan akan melonjak kembali. Atau ketika daya beli masyarakat kaya kembali normal, maka ketimpangan akan kembali melebar.

Kita harus cek, penurunan angka kemiskinan dalam empat tahun terakhir cenderung melambat. Rata-rata pengurangannya selama tiga tahun dri 10.96% per Sept 2014 jadi 9.82 % per Maret 2018. Jadi selama 4 tahun turunnya cuma 1.14% kita bagi 4 tahun dapatnya...0.285%. Kira-kira pertahun cuma sekitar 700 ribuan.

Jadi apa yang disampaikan pemerintah mengenai turunnya angka kemiskinan hingga mencapai angka 1 digit sebesat 9,82 persen, perlu kita dudukkan secara proporsional. Apalagi kalau kita menggunakan indikator 2 USD per hari, angka kemiskinan pasti akan melonjak drastis. Jangan sampai angka kemiskinan seperti fatamorgana, bayangan semu yang tidak pernah kita capai.

Wallahu'alam

Dr. Handi Risza Idris, M.Ec

Sekretaris Bidang Ekuinteklh DPP PKS

(Calon Anggota DPR RI Dapil Sumbar I)